![]() |
Asa Jannati |
#BAB 3
Reo Jatuh Sakit
Hari ini aku sudah menatap menara Eifel dengan manisnya. Aku datang di saat yang tepat. Bulan dimana memasuki musim salju, sehingga sepanjang jalan aku bisa melihat hujan salju yang sedang turun, sementara bumi belum terlalu penuh oleh salju yang bertumpuk. Sempurna. Indah. Pemandangan ini cukup membuat mood dan emsoiku baik. Ini memang yang aku cari.
Di sini aku ditemani beberapa teman yang menetap di Prancis. Mereka teman-teman masa lalu dari jaman SMA dan kuliah. Beruntung mereka memang sudah sering nongkrong bersama dan saling kenal sehingga kehadiranku di tengah-tengah mereka membuatku sangat terhibur. Candaan-candaan khas Indonesia tak mereka lupakan dan itu terkesan lucu di telingaku karena aksen mereka yang sudah mulai berubah kebule-bulean tidak lagi seperti dulu yang masih medok betawi atau jawa.
Aku menyeruput capucciono sore hari sembari memandangi angsa-angsa di kolam kecil itu. Menatap julangan menara Eiffel yang begitu romantis di mataku. Banyak pasangan muda-mudi yang sedang berlibur kemari.
Aku dan Reo tentu saja sering kemari. Ah, seandainya saja Reo ... Ah, sudahlah kenapa aku menyebut namanya. Bukankah aku kemari untuk melupakan dia. Aku kembali bergabung ke meja teman-temanku, lebih baik aku ngobrol dan bercanda bersama mereka. Lusa aku harus pergi ke London, manfaatkan saja waktuku dengan mencari topik pembicaraan yang sedang hit bersama mereka.
“Apa kabar Reo dan Raya, Mel?” tanya Meta sahabat sebangkuku ketika SMA. Dia banyak tau hal tentangku, sayangnya ia belum tahu soal pernikahanku yang di ujung tanduk.
Aku tergagap, saat matanya menanti jawabanku.
“Mereka ... mereka seperti biasanya, sibuk dengan hobi dan aktivitasnya saat ini, waktunya belum pas untuk aku ajak berlibur seperti saat ini,” jawabku mencoba menjawab secara umum.
“Raya sudah kuliah ya? Aku lihat foto kalian ketika merayakan keberhasilan Raya diterima di Universitas Indonesia,” lanjut Meta.
Aku segera meminum cokelat capuccinoku. Menenangkan diri berharap tak ada pertanyaan lebih jauh lagi.
“Oh, iya, Ta. Kamu melihatnya, ya. Raya sudah semester dua,” jawabku mencoba biasa.
“Oiya kamu sudah tahu belum, Mel. Brian mengalami kecelakaan bersama keluarganya tiga bulan lalu, anak dan istrinya tidak bisa terselamatkan.” Tiba-tiba Farah memberitahukan hal yang membuatku kaget.
“Oh,ya?” Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Brian, orang dari masa laluku. Dia orang baik yang selalu aku kagumi. Kakak tingkat yang rumahnya sempat tak jauh dari rumah masa kecilku. Setelah itu kami pindah tak pernah bertemu lagi, sampai akhirnya di masa kuliah kami bisa bertemu lagi. Dia ambil Arsitek, semetnara aku Bisnis.
“Iya, Brian cowok yang selalu kamu kagumi di jaman kuliah itu, Mel.” Farah si cewek Medan ini menggodaku.
“ Tak beruntung sekali nasibnya, harus kehilangan anak dan istrinya sekaligus. Aku datang saat pemakamannya. Gimana kalau besok kita agendakan kita main ke rumahnya? Setuju?”
“Eh, jangan dia nanti terganggu, dia sedang berkabung.” Aku tak enak hati juga sebenarnya. Sungkan karena pernah ada cinta di antara kami. Sayangnya tak semua teman-temanku tahu bahwa waktu itu aku pernah menjalin hubungan beberapa bulan dengannya.
Selama dengan Reo, aku pernah berjanji untuk selalu menjaga hati. Menjaga pikiran dari apapun yang bernama laki-laki. Ini menjadikan aku serba terbiasa menghindari laki-laki. Aku mau dekat dengan teman-teman di sini karena mereka sudah seperti saudara sejak lama.
“Nah, baru saja diomongin, Brian nongol juga, tu.” Teddy menunjuk seseorang yang sedang berjalan ke arah kami.
“Tau aja, Lu, Bri lagi di omongin udah nongol,” lanjut Teddy sambil menyalaminya.
Brian menatapku.
“Amel, wahh, kangen sekali udah lama nggak ketemu, apa kabar kamu?” Brian langsung menyapaku ramah.
Ya Allah, ia masih seramah dan semanis dulu. Gingsul dan lesung pipinya tak berubah.
“Baik, Bri. Apa kabarmu? Gimana sehat?” jawabku.
“Alhamdulillah. Aku dapat kabar dari Erica, katanya kamu datang dan kalian nongkrong di sini, kebetulan sekali, kantorku tak jauh dari sini.” Ia tersenyum, lagi-lagi lesung pipi itu.
“Anak ama suami nggak dibawa?” tanyanya.
“Oh, enggak Bri, mereka lagi sibuk-sibuknya. Aku kebetulan lagi ada urusan di London. Tapi aku mampir sini dululah, ya. Nemuin kalian,” jawabku mencoba secair mungkin.
“Iyalah, kalo orang sudah sepuh itu sebaiknya sering reuni, sebab kalau neggak nanti lupa siapa nama teman-temannya pas papasan di jalan,” canda Brian dibarengi gelak tawa yang lain.
Brian yang pandai menempatkan diri itu memulai candaannya. Lumayan akan sangat menghibur suasana hatiku di sini jika ada dia sebenarnya.
“Ngomong-ngomong kapan mau ke Londonnya? Kebetulan aku juga ada urusan di sana lusa,” ucapnya santai.
Lusa, pas sekali.
“Ya, lusa juga,” jawabku.
“Nah, pas banget tuh, Mel, bareng Brian.” Meta mengedipkan sisi kiri matanya. Aku tertawa, ini emak-emak uzur satu ini nggak hilang-hilang genitnya.
“Kalau begitu, kamu pergi saja denganku, biar Aman Mel. Saat ini perjalanan ke sana sedang tidak aman, cuaca dan penjahat sedang merajalela,” ujar Brian.
Brian, kamu masih sebaik itu.
“Mel, bener kata Brian. Jarang-jarang ituh Brian mau nemenin perempuan. Kalau bukan spesial,” lanjut Erica. Aduh, kenapa hatiku sekarang yang jadi kebat kebit.
Tring!Tiba-tiba ada pesan masuk dari Rany.
[Bu, Pak Reo masuk UGD satu jam lalu, kondisinya memperihatinkan,] bunyi pesan Rany.
Deg!
Mendengar namanya, rasa nyeri masih tersemayam. Sakit apa Reo? Mag akutnya kambuhkah? Atau darah tingginya? Ya, Allah, baru beberapa hari aku mencoba melupakan Reo. Bukankah kita akan segera bercerai. Sebaiknya aku harus membiasakan diri tak perduli pada keadaannya. Rany, kenapa dia harus mengabariku.
[Sudah biarkan saja, Rany. Sekarang sudah bukan urusanku. Sudah ada keluarganya yang akan mengurusnya,] jawabku.
[Tapi keadaannya sangat parah, Bu. KRITIS,] jawa Rany. Reo Kritis?
TO BE CONTINUED Apa yang terjadi kedepan? Apakah Amel akan segera pulang ke Indonesia untuk mengurus Reo? Mengingat amel tipikal wanita yang kadang lembut hati, tak bisa mendengar orang butuh pertolongan, terlebih ia baru beberapa hari pisah dari Reo yang belum resmi pisah dengannya. Ibarat kata rasa-rasa suami masih ada dalam hati Amel.Lalu di next part akan ada Raya yang mulai tak nyaman tinggal dengan orang tuanya, kemudian mulai ngerusuhin Amel.
Bersambung . . .
0 Komentar