![]() |
Author Cantik |
#BAB 2
“Numpang cuci muka, Mpok,” pintaku pada pemilik warung. Kebetulan di depan rumahnya ada ledeng.
“Silakan, Dani.”
Kubersihkan wajah berkali-kali dengan air segar ini. Wajahku sudah bersih, tetapi tidak dengan hatiku yang membengkak sakit. Apakah ini mimpi? Bukan, inilah sebuah kenyataan yang harus diterima. Apakah aku buta karena cinta? Mungkin saja. Ah, entahlah! Aku hanya melakukan semua ini demi Bapak dan juga memperjuangkan cintaku. Setelah apa yang sudah terjadi, apakah ini pantas disebut cinta? Kalbuku bergemuruh.
“Makasih, Mpok. Beli kerupuk dua ribu,” ucapku sambil menyodorkan selembar uang dua ribu yang tampak usang.
Mpok Ati memberikan empat buah kerupuk jalin. Aku langsung berjalan pulang, kasihan Bapak sendirian di rumah.
“Assalamualaikum, Bapak. Ini Dani bawakan kerupuk.”
Bapak mangut-mangut sambil mencomot kerupuk. Aku menghela napas panjang, aku harus kuat demi Bapak. Sekarang hanya beliau satu-satunya orang yang kusayangi. Salma pelan-pelan akan kulepas dari hati.
“Pak, minum obat ini dulu.”
“Obat apa ini, Nak?” Bapak menghentikan makannya sejenak.
“Obat sakit pinggang, Pak. Model baru, pilnya warna cokelat,” ucapku berbohong.
Itu adalah obat anti mencret. Aku takut Bapak sakit karena ayam goreng bangkai dari Salma. Maafkan aku, Pak! Sungguh semua ini di luar dugaan. Kita salah menilai kebaikan Salma selama ini. Bak ribuan jarum menusuk jantung kala melihat Bapak sangat girang akan makanan pemberian gadis kejam itu.
Bapak tanpa curiga langsung meminum obat itu tanpa banyak lagi bertanya. Untunglah, lelaki sepuh ini selalu berpikir positif. Hal itu membuatku selalu belajar arti keikhlasan dari beliau. Sejahat apa pun orang, Bapak selalu membalasnya dengan kebaikan.
“Salma sangat baik dengan kita. Jangan sampai kamu mengecewakan dia, Nak,” nasihat Bapak sambil meletakkan cangkir ke lantai.
Seandainya saja, Bapak tahu kalau Salma sudah berubah bak iblis. Akankah beliau masih memuji gadis itu? Ayam goreng yang Bapak makan itu bangkai ayam tiga hari.
“Kamu harus selalu ingat hutang budimu pada ayahnya Salma. Dulu, sewaktu kamu masih kecil pernah tertabrak mobil pengangkut sayuran. Tanganmu patah, ayahnya Salma yang mengobatimu sampai sembuh.”
Bapak selalu saja tak bosan menceritakan hal itu padaku. Entah sudah berapa ratus kali beliau mengulangnya. Wajar saja, zaman dulu jarang ada yang baik dengan orang miskin seperti kami.
Pak Abid adalah seorang tabib keliling yang baik hati. Dia yang sudah berbaik hati mengobatiku sampai sembuh tanpa meminta sepeser pun uang. Hal inilah yang membuat Bapak selalu mengingatkanku agar menyayangi Salma.
Pak Abid sangat memuji kejujuranku. Saat SMA aku sempat bekerja padanya setiap pulang sekolah. Aku sebagai pencari rumput untuk kambing-kambingnya. Keluarga kami sangat dekat, sampai akhirnya Pak Abid menitipkan Salma padaku dan berharap kami berjodoh. Hal ini sempat disampaikannya pada Bapak, tentu saja Bapak setuju.
Namun sayang, saat kami baru naik kelas tiga SMA Pak Abid meninggal dunia. Sejak saat itu, semua kambing dijual oleh istrinya. Aku tak lagi mendapatkan pekerjaan. Akhirnya, aku kembali mengikuti Bapak jadi badut penghibur anak-anak. Ya, sampai sekarang itulah profesi kami.
“Sekarang, kami sudah susah. Ayahnya Salma sudah meninggal dunia. Karena kamu sudah memakan jasanya, maka bantulah uang kuliah Salma,” pinta Bu Lela sore itu.
“Bagaimana mungkin aku bisa, Bu? Sedangkan, aku saja tidak kuliah.”
“Ya, sisihkan saja uang dari kerjamu untuk Salma. Tak ada ruginya, toh Salma lambat laun juga akan menikah denganmu. Itu juga merupakan cita-cita almarhum suamiku.” Bu Lela berkata serius.
“Baiklah, Bu Lela. Atas jasa Pak Abid pada kami, aku dan Dani siap membantu. Berjanjilah, saat Salma sudah sukses nanti harus menikah dengan Dani. Dani sudah mengorbankan diri untuk Salma. Biarlah, Dani tidak kuliah,” ucap Bapak.
Aku sungguh kaget dengan perkataan Bapak. Bisa-bisanya mengambil keputusan berat ini. Apa ini yang disebut hutang budi dibawa mati? Lantas, apa makna sebuah keikhlasan jika semua harus diperhitungkan? Apakah dunia ini memang lucu? atau aku yang tidak memahami arti kehidupan yang kejam?
“Tentu saja, Pak Umar. Salma dan Dani akan menikah selepas kuliah. Tanah sebelah ini nantinya bisa dibangun rumah untuk mereka, Dani juga akan jadi juragan kelapa. Kelapa tanaman ayahnya Salma sebentar lagi menghasilkan. Percayalah,” jelas Bu Lela berusaha meyakinkan kami.
Begitulah sebuah janji yang diucapkan Bu Lela sore itu. Hal itu juga yang membuatku mengubur paksa niat kuliah jurusan akuntansi. Kutekadkan hati sepenuhnya untuk Bapak dan Salma. Hanya mereka berdua penyemangatku sejak hari itu.
Ditawarkan masa depan yang baik, siapa yang menolak? Bapak sangat mendukung sepenuhnya rencana Bu Lela. Mengingat kami orang miskin, Bapak berharap aku kelak punya kehidupan yang lebih baik. Masa depan yang cerah.
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,” ucapan Bapak terngiang lagi di telinga.
Kenyataannya tidak semanis itu. Berakit-rakit ke hulu, turun gerimis basahi sampan. Bersakit-sakit dahulu, hati menangis menghapus perasaan. Bukankah begitu pepatah yang tepat?
“Kok melamun, sudah malam. Sana tidur, besok kamu kerja lagi.”
“Eh—eh iya, Pak.” Aku tersadar dari lamunan masa lalu.
“Kamu harus semangat, Nak. Ingat! Ada beras yang harus dijadikan nasi dan ada Salma yang harus dijadikan istri. Iya, toh?” ucap Bapak menggodaku. Rupanya ia kira aku barusan melamunkan pernikahan bersama Salma.
“Dapat dari mana kalimat itu, Pak?” Mau tidak mau akhirnya aku senyum juga karena godaan Bapak. Senyum dingin.
“Eh, jangan salah-salah. Bapak juga pernah muda hehehe,” jawab Bapak sambil tertawa lepas.
Kuambil napas berat sambil memaksakan bibir tersenyum. Sehancur-hancurnya hatiku, cukup diri sendiri yang merasakan pedihnya. Bagaimana mungkin aku membiarkan senyum bahagia itu luntur dari bibir Bapak?
***
Hari tak terasa berlalu. Pagi ini aku sudah selesai berdandan dan berpakaian ala badut. Sepeda tua milik Bapak juga barusan dikembalikan oleh penjual balon terbang. Bapak sengaja meminjamkan sepeda karena penjual balon itu sakit asam urat, tetapi ia harus tetap berjualan demi menyambung hidup. Setelah sembuh, sepeda itu dikembalikan. Pagi ini kami sudah bisa menyunggingkan senyum.
“Pak, Dani berangkat,” pamitku.
“Hati-hati, Nak.”
Kukayuh sepeda tua ini. Sudah lama aku tak bersepeda. Alhamdulillah untuk hari ini. Aku melintasi gang dengan santai, tak lupa menyapa setiap anak kecil yang lewat. Saat berpakaian badut, saat itulah aku adalah seorang penghibur. Ya, penghibur siapa saja. Bahkan, saat diejek oleh para gadis pun aku sudah terbiasa.
“Abang badut! Abang badut!” panggil wanita berambut pendek. Di sebelahnya ada anak SD yang sedang menangis.
“Ada apa, Bu?” tanyaku sambil menghentikan laju sepeda.
“Tolong antarkan anak saya ke sekolahnya, saya sibuk tidak bisa mengantarnya. Abang badut tolong antarkan, ya?” pintanya penuh harap. Aku mengangguk sembari melebarkan senyum.
“Hai, Adik manis siapa namanya? Ayo, Abang badut antarkan ke sekolah. Naik sepeda kita. Jangan nangis, nih ada permen,” bujukku sambil menyodorkan beberapa buah permen lolipop.
“Oki,” jawabnya singkat sembari menyeka air mata. Diambilnya lolipop dari tanganku.
“Mau, ya? Naik sepeda sama Abang badut.” Ibunya menyambung.
Bocah lelaki yang kutaksir berusia tujuh tahun itu mengangguk. Ia segera naik jok besi di belakangku. Sebelum pergi, ibunya memberiku selembar uang sebagai tanda terima kasihnya. Aku kembali terus mengayuh sepeda. Sampai di perempatan jalan, ada keramaian. Memangnya ada apa?
“Kok banyak orang. Abang badut, ada apa?” tanya bocah lelaki ini sambil mengemut permen.
“Gak tahu juga Abang, tunggu sebentar ya, Adik manis.”
Aku menepikan sepeda. Oki kutinggalkan sebentar. Sengaja tidak kuajak di tempat ramai, takut napasnya sesak karena banyak orang dewasa. Aku bersusah payah berjalan mendekati kerumunan. Ternyata di aspal tergolek lemas seorang wanita. Siapa dia?
Mataku membelalak kaget saat sempat melihat wajahnya dari jarak lima meter. Itu Salma. Darah keluar dari perut sebelah kanan. Apa yang terjadi? Di sebelahnya ada pacarnya yang tampak kebingungan.
“Iya, gadis itu korban penusukan mafia begal yang salah sasaran. Kasihan sekali dia,” ucap seseorang di sampingku.
“Kasihan, semoga dia selamat. Sebentar lagi mobil ambulans datang, aku sudah menelepon pihak rumah sakit. Polisi juga sedang mengejar pelakunya yang mencuri motor dan pergi ke arah utara,” sahut pria satunya lagi.
“Tumben kejadian pagi, biasanya malam, ya.”
“Ya, salah satu efek masih pandemi. Perut tidak bisa menahan lapar. Para begal itu aslinya miskin, hanya saja mereka mengambil jalan pintas yang berisiko tinggi,” jelasnya.
Aku termangu mendengar obrolan mereka. Ternyata begitu kejadian aslinya. Rasa emosi dan sedih bercampur. Apa yang lebih menyakitkan dari melihat orang yang disayangi disakiti orang lain? Hatiku pedih, teremas perasaan sendiri.
Ingin sekali rasanya aku berlari menolong Salma. Namun, langkahku terhenti saat mengingat arti hadirku untuknya, tak lebih dari anj*ng. Hati ini masih terlalu sakit. Entah rasa apa ini. Tak tega tapi benci. Setengah berlari kutinggalkan tempat ini, segera kembali menghampiri Oki yang masih menunggu.
“Ayo, nanti terlambat!” Aku mengajak Oki naik sepeda lagi.
Salma sakit dan pingsan. Ia jadi korban penusukan salah sasaran. Hatiku sedih mendengarnya. Terbayang lagi darah yang membasahi bajunya saat tergolek lemas di jalan. Wahai hati, mengapa harus bersedih? Bukankah dia hanya menganggapmu orang bodoh? Lihat dirimu, kau hanya manusia berkostum badut.
0 Komentar