![]() |
Author Cantik |
#BAB 3
Di sudut emperan kedai nasi goreng, kulihat Kek Udin duduk meringis. Beliau mengurut kakinya sendiri. Katanya sudah sembuh? Mengapa wajahnya pucat sekali? Padahal tadi pagi sudah tampak ceria saat mengembalikan sepeda. Kuhentikan laju sepeda dan menghampirinya.
“Ada apa, Kek? Katanya sudah sembuh?” tanyaku khawatir.
Kek Udin belum menjawab apa pun. Rupanya sakit kakinya sudah tak terperi, sampai tak sadar matanya basah. Sudut kedai yang penjualnya sudah pulang ini jadi saksi perjuangan Kek Udin. Ya, penjual nasi goreng hanya berjualan pagi, sekarang sudah siang. Kedai ini kosong.
“Sakit. Kakek tidak sanggup berjualan balon terbang lagi hari ini. Mau pulang saja, tapi balon ini belum satu pun ada yang laku,” ceritanya pilu.
Kek Udin tinggal hanya bersama istrinya. Mereka berdua sudah renta dan sakit-sakitan. Anak-anaknya telah menikah dan pergi ke luar kota. Tak pernah terdengar kabarnya lagi. Menurut cerita beliau, anaknya tak pernah datang menyambangi. Bahkan, saat hari raya pun tidak pulang. Hatiku miris setiap kali mengingat curahan hatinya kala itu.
Orang tua tidak meminta uang kepada anaknya. Mereka hanya butuh sebentuk perhatian dan kasih sayang di usia senja. Bertatap wajah walaupun sejenak untuk melepaskan jerat rindu yang mendera hatinya.
“Kalau masih sakit kakinya, kenapa sepedanya dikembalikan, Kek? Pakai saja buat jualan, daripada jalan kaki seperti ini.”
“Kakek malu, Nak. Kamu dan bapakmu sangat baik pada kami. Kakek takkan selamanya bisa memakai sepedamu, kau juga butuh untuk ke taman,” jelasnya jujur.
Hatiku teremas. Dari binar matanya tampak kesedihan, selain tatapan rindu akan kedatangan anak-anaknya. Orang tua yang terlupakan. Asam urat yang menderanya sudah parah. Akan tetapi, ia tetap bersemangat menantang kerasnya kehidupan. Air matanya tertumpah mengoyak jantungku. Ternyata, tadi pagi ia berbohong kalau sudah benar-benar sembuh. Itulah salah satu bentuk harga diri. Tidak mau terus menyusahkan orang lain.
“Kakek pulang saja, aku bayarkan ongkos angkotnya. Balon terbangnya nanti aku jualkan, sekalian mau ke taman,” tawarku tulus sembari mengembangkan senyum.
Mata Kek Udin kembali menatapku sendu. Mata itu makin sayu, tidak sama seperti dulu saat ia masih muda. Tak akan pernah terlupa, dulu ia sering memberiku balon terbang gratis. Setiap anak kecil akan mengenang siapa saja orang baik dalam hidupnya, terbawa sampai dewasa. Masa lalu kembali membayang kala diri ini masih bocah.
“Terima kasih banyak, Nak Dani. Kamu baik sekali, beruntungnya Pak Umar memiliki kamu,” ucapnya pelan.
“Itu ada angkot, Kek. Kakek istirahat saja di rumah, nanti uang balon aku antarkan ke rumah.” Kakek tak menjawab, ia hanya mengangguk.
Segera kulambaikan tangan pada angkot yang lewat. Setelah itu langsung membantu Kek Udin naik angkot dan tak lupa selembar uang sepuluh ribu kusodorkan padanya untuk ongkos. Mata ini mengiringi sampai angkot merah itu tak terlihat lagi.
Balon terbang Kek Udin kuikat erat dan ikut ke taman. Semoga balon ini segera habis terjual. Balon terbang beraneka karakter kartun kesukaan anak-anak. Kukayuh lagi sepeda tua ini menuju taman. Hari sudah menjelang sore.
Aku berhenti di bawah pohon akasia yang rindang. Angin sejuk menerpa wajah, bantu mengeringkan keringat. Satu hal yang kusadari, sesejuk apa pun desiran angin yang menyapa tak mampu menyejukkan luka hatiku.
“Abang badut! Abang badut datang. Hore,” celoteh riang seorang anak.
“Iya, Abang pasti datang. Kali ini sekalian bawa balon terbang. Mau?”
“Mau, Bang. Gambar doraemon itu, mau.”
“Iya, Sayang. Bang berapa harga balon terbangnya?” tanya sang ibu.
“Sepuluh ribu, Bu.”
“Oke, Bang. Ambil doraemon satu sama barbie satu. Nanti satunya buat adiknya di rumah. Malas saya kalau mereka nangis berebut balon,” ujar ibu itu sambil menyodorkan uang dua puluh ribu.
“Namanya juga anak-anak, Bu. Ini balonnya.” Kuserahkan dua balon.
Makin sore anak-anak makin ramai datang. Balon laris manis sampai habis tak tersisa. Rezekiku juga lancar, aksi menghibur anak-anak juga mendatangkan uang. Sulap kecil-kecilan dengan trik sederhana juga amat digemari para bocah. Tak butuh waktu lama, uang sudah terkumpul di dalam saku baju badutku.
Gerimis halus melanda, anak-anak diajak pulang karena takut demam. Taman akan kembali sepi. Kulirik jam kecil yang memang kusediakan agar tidak lupa waktu. Baru jam empat sore.
Pikiran rasanya tidak tenang, ada yang mengganjal hati saat belum mengetahui keadaan Salma. Aku mengkhawatirkan dirinya, setidaknya harus tahu bagaimana kondisi Salma. Darah yang keluar dari perutnya cukup banyak.
Akhirnya, kukayuh sepeda menuju rumah sakit. Pasti Salma ada di Rumah Sakit Tiara Sella. Karena di sana sangat intensif dalam perawatan. Rumah sakit swasta yang tentu saja mahal biayanya. Rumah sakit kepercayaan keluarga Salma.
Untungnya tak terlalu jauh, tak berselang lama aku sudah sampai tujuan. Masih berpakaian badut, beberapa orang berlalu lalang menatap heran. Aku tak peduli.
“Permisi, Mbak. Pasien atas nama Salmafina Reyfanny ada di kamar nomor berapa?” tanyaku. Mbak itu langsung mencari data dalam komputer.
“Oh, ada di kamar F12. Abang badut lurus saja nanti naik tangga pertama. Di sana kamar nomor 12,” jawabnya ramah sambil menunjuk arah.
“Baik, makasih.”
Tergesa-gesa kucari ruangan di mana Salma berada. Aku ingin tahu bagaimana keadaan gadis itu, tanpa ada siapapun yang mengetahuinya. Tidak mudah untuk melupakannya begitu saja, setelah semua yang kami lewati bersama.
“F12, ini ruangannya,” gumamku seorang diri.
Hati ini berdetak. Aku hanya menatapnya dari balik kaca pembatas. Salma terbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Apakah kumat lagi asma-nya? Ia memang sudah lama punya penyakit sesak napas ditambah lagi tusukan pada perut sebelah kanan. Di samping Salma ada ibunya yang duduk menemani.
Bu Lela bermuram durja. Ada pula seorang dokter dan suster memeriksa keadaan Salma. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang entah apa. Tampaknya sangat serius sekali, ibu Salma menyeka matanya.
Dapat kulihat bagaimana Salma tak berdaya dengan mata tertutup. Relung kalbu terasa pedih menatapnya dalam kesakitan. Sesakit-sakitnya hatiku dilukai olehnya, tetap saja masih tersisa rasa iba. Sekecewa apa pun kondisiku saat ini, tetap saja ada pilu yang menjalar saat menatapnya.
Dari balik kaca ini, aku mencuri waktu untuk sekadar menenangkan hati. Sesak melihatnya sakit. Bagaimana caranya menghapus nama yang sudah terukir? Aku tetap berdiri di sini. Menunggu ... menunggu mata itu terbuka dan melihat kepedulianku.
Dokter dan suster keluar ruangan. Aku membuntuti sampai agak jauh dari tempat Salma berada. Aku penasaran apa yang terjadi. Apa yang jadi obrolan mereka di dalam tadi.
“Dok, tunggu. Aku ingin bertanya,” ucapku memanggil dokter lelaki itu. Ia membalik tubuh.
“Ya, ada yang bisa saya bantu? Abang badut mau menanyakan apa?” sahutnya.
“Pasien atas nama Salma bagaimana keadaannya, Dokter?”
“Maaf, sebelumnya Anda siapanya Salma?”
“Aku saudaranya.” Sengaja aku berbohong agar bisa tahu keadaan Salma.
“Dia mengalami pendarahan hebat. Luka tusukan itu lumayan dalam. Besok pagi akan segera menjalani operasi, tetapi stok darah kurang satu kantong lagi. Oleh sebab itulah aku langsung menanyakan hal ini pada ibunya barusan. Di PMI juga golongan darah AB sedang kosong,” jelasnya detail.
AB? Darah Salma sama sepertiku. Ia butuh untuk segera operasi besok pagi, aku tak tega membiarkannya menderita lebih lama lagi.
“Ambil saja darahku, Dok. Kebetulan darahku juga AB.” Aku menawarkan diri.
“Baiklah, kita akan lakukan sekarang jika memang Abang badut siap mendonorkan darahnya. Sus, tolong.”
Aku pun langsung dibawa ke tempat donor darah. Setelah menjalani pemeriksaan, akhirnya aku lolos dan bisa diambil darahnya. Saat ini aku bisa bernapas lega. Tak berselang lama, darahku sudah berpindah ke kantong darah itu. Ya, satu kantong full.
“Sudah, Abang badut. Terima kasih banyak. Ini minum susu dulu,” tawar suster sambil menyodorkan segelas susu.
Saat duduk, kepalaku terasa agak pusing. Susu itu kuminum juga akhirnya.
“Sus, tolong rahasiakan identitasku. Jangan pernah mengatakan kalau darah itu dariku. Tolong,” pintaku penuh harap.
Wanita ini menatapku aneh. Mungkin ia berpikir jika memang saudara tidak mungkin aku menyembunyikan identitas. Namun, untungnya ia tak terlalu memedulikan hal itu.
“Baiklah, semua data akan saya rahasiakan. Ini bingkisan dari rumah sakit untuk pendonor darah, semoga lekas pulih.” Diserahkannya satu bungkusan padaku. Pastilah isinya susu dan kacang hijau.
Beberapa menit setelah merasa baikan, aku segera pulang. Hari juga sudah sore, para petugas rumah sakit sudah bersiap pulang untuk berganti shift. Tangan kiri masih terasa ngilu akibat tusukan jarum. Tak mengapa, aku puas bisa membantu walaupun secara diam-diam.
Aku kembali mengayuh sepeda untuk pulang. Banyak sekali daun yang gugur sore ini, terhempas angin. Gerimis halus kembali menemani perjalananku. Bukan hanya gerimis, tapi juga kenangan.
Tuhan, dia sedang berjuang untuk sembuh. Lindungi dia, lancarkanlah operasinya. Semoga dia bisa segera sehat seperti sediakala. Seandainya aku bisa memilih, lebih baik berpisah hidup daripada berpisah karena kematian. Setidaknya, aku masih bisa melihatnya bahagia esok hari. Urusan hancurnya hati, biarlah kunikmati pedihnya. Pasti esok atau lusa akan sembuh seiring waktu.
Salma, seandainya kau tahu betapa berartinya dirimu bagiku. Sungguh aku menyayangi setulus hati. Mengapa kau balas dengan dusta? Setelah apa yang sudah kami korbankan selama ini. Kini, berbahagialah bersamanya, aku ikhlas. Aku akan jalani hidup baru tanpamu.
Salma, dengan darahku yang mengalir di tubuhmu. Dengan cara itulah aku mencintaimu. Kau tak mencintaiku? Tidak masalah lagi. Bahagiamu adalah bahagiaku juga. Balas dendam terbaik adalah mengubah diri jadi lebih baik lagi ke depannya. Kulapangkan dada melepasmu pergi.
Salma, terkadang aku merasa bodoh. Hinaanmu padaku masih bisa dimaafkan, tetapi caramu menyakiti Bapak sungguh tak termaafkan. Tak ada yang mengerti perasaanku saat ini. Jika diceritakan pada orang tentang semua ini, pasti mereka menertawakanku. Menganggap akulah orang terbodoh di dunia. Bahkan mungkin, katak di kolam juga ikut menertawakan. Mungkin ada benarnya juga aku memang bodoh, sesuai dengan dandanan badut ini.
Hanya waktu yang bisa mengerti, betapa beratnya diriku melupakanmu dan semua kenangan kita. Tentang hujan, pohon akasia, bunga melati, rangkaian bunga ilalang, dan ... luka. Aku ikhlas menyayangi, juga harus ikhlas melepasmu pergi.
Selamat tinggal kekasih. Aku kini hanya akan berusaha memperbaiki hidup dan menyayangi Bapak. Akan kuperjuangan hidup yang layak untuk beliau.
Bersambung . . .
0 Komentar