Leyla Hana


#BAB 1

Prolog

Mata kecil itu begitu tajam dan menusuk, hingga nyaris menewaskannya dalam sekali pandang. Rambut basahnya meneteskan air ke lantai, menyamarkan raut wajah yang penuh kesedihan sekaligus tuntutan. 

Tubuhnya kurus, meski terlahir dari keluarga kaya raya. Di luar jendela, hujan menderu-deru disertai bunyi petir yang memekakkan telinga. Dokter Adi membenarkan letak kacamatanya dengan gugup. Tubuhnya pun menggigil, seolah dirinya yang baru saja kehujanan. Pertanyaan yang terlontar dari mulut mungil itu membuat hatinya tak menentu. Rasa bersalah membelitnya, bahkan perutnya pun terasa melilit. 

“Dokter, benar kan Dokter yang melumpuhkan kakakku?” 

Pertanyaan itu kembali meluncur dari mulut mungil yang gemetar karena kedinginan. Dokter Adi mengembuskan napas, lalu menggeleng-geleng lemah.

“Kau salah…. Itu tidak benar…..” suara pelannya diredam oleh kilatan petir yang tak jua usai. 

“Dokter tak perlu berbohong! Akui saja!” anak itu berteriak, matanya menyala-nyala oleh api kemarahan. 

“Sudahlah, sudahlah. Kau harus cepat pulang. Ini sudah malam. Kau juga sudah kedinginan….” Dokter Adi berbicara dengan nada cepat.

“TIDAK! Aku ingin Dokter bertanggung jawab!” 

“Ada apa, Mas?” suara istrinya terdengar dari arah dapur. 

“TIDAK! Tidak ada apa-apa!” Dokter Adi menjawab dengan panik, “Ayo, cepat pulang!” tangannya sigap menarik tubuh anak lelaki itu dan mendorongnya ke luar dari kamar kerjanya.

“Dokter harus mengobati kakakku!” anak itu memberontak. Untung saja, pintu kamar kerja hanya berjarak 200 meter dari pintu keluar di samping rumah. Susah payah, Dokter Adi berusaha menyingkirkan anak lelaki berusia 12 tahun, yang tenaganya sudah cukup kuat untuk menepis pegangan tangannya.  

“Ayah… ada apa?” sebuah suara menyela usaha Dokter Adi saat menyingkirkan anak lelaki itu. Suara putrinya. Putri semata wayangnya. Gadis berusia 7 tahun itu memandang ayahnya dan anak laki-laki di depannya, bergantian. 

“Tidak apa-apa. Dia sudah mau pulang, kok. Ayo, pulang dulu ya, nanti bapakmu mencari.” Dokter Adi tersenyum dibuat-buat, sembari mendorong anak lelaki itu ke luar pintu, dan menutup kembali pintunya rapat-rapat. 

Di luar rumah, sepasang mata anak lelaki itu berkilatan, kedua tangannya mengepal dan mendorong pintu tanpa tenaga. Jika saja anak perempuan Dokter Adi tidak muncul, ia pasti bisa memaksa Dokter itu agar bertanggung jawab terhadap malpraktek yang menimpa kakaknya. 

Dari balik pintu, terdengar suara istri Dokter Adi, “Lho, dia mana, Yah? Bukannya mau makan malam sama kita? Dia tadi kehujanan, kan?”

Anak lelaki itu meninggalkan rumah Dokter Adi dengan langkah penuh dendam. Dendam yang hangus seketika dan digantikan oleh perasaan bersalah, karena delapan tahun kemudian, Dokter Adi ditemukan meninggal dunia setelah menyuntikkan racun sianida ke dalam tubuhnya.