Leyla Hana

#BAB 3

Calon Suami

Pintu kamar Azalea diketuk seseorang. Gadis berusia 25 tahun itu cepat-cepat memasukkan barang-barang yang tercecer ke dalam tas selempang, lalu membuka pintu. Bude Laras berdiri di hadapannya dengan pertanyaan yang sudah bisa ditebak, 

“Sudah siap to, Nduk? Kita harus cepat berangkat, khawatir tertinggal pesawat.”

“Iya, Bude, sudah siap kok.” 

Taksi sudah menunggu di depan rumah, ketika Pakde Bimo memasukkan barang-barang bawaan mereka ke dalam bagasi, lalu memasukkan Ibu ke dalam taksi secara hati-hati. Mereka akan menaiki pesawat dengan layanan First Class, untuk menjamin kenyamanan Ibu. Dikawal oleh Pakde Bimo dan Bude Laras, membuat Azalea merasa tenang. Semua itu telah diatur oleh Mbah Kung yang tak pernah meninggalkan mereka, sekalipun tinggal terpisah. 

Mbah Kung, sosok yang sangat disegani oleh keluarga besar mereka. Lelaki sepuh yang usianya diperkirakan telah menginjak angka 90 tahun. Ayah Azalea memang telah meninggal dunia, di saat usia Lea 15 tahun, tetapi dukungan dan sokongan Mbah Kung membuat mereka tak pernah merasa kehilangan pemimpin keluarga. Itulah mengapa Azalea tak punya pilihan lain, selain menerima perjodohan yang telah diputuskan. Lagipula, ia akan menikah dengan saudara sendiri yang sudah jelas bibit, bebet, dan bobotnya. 

“Lea, nanti kalau sudah bertemu Indra, kamu yang sabar ya. Indra itu agak cuek. Kalau belum kenal, bisa mengira dia itu sombong,” kata Bude Laras, dengan logat Jawa yang kental. 

Pendiam, cuek, sombong. Kenapa cerita tentang Indra tak ada asyik-asyiknya? 

Indra adalah anak dari Pakde Bagas dan Bude Setiowati yang meninggal bersamaan dalam kecelakaan pesawat, enam tahun lalu. 

Peristiwa yang sungguh tragis. Untungnya, Indra dan Candra, dua anak pasangan suami istri itu sudah dewasa dan mandiri. Pakde Bagas dan Bude Setiowati adalah sepupu dari anak-anak Mbah Kung. Pernikahan antar kerabat ada baiknya juga, karena semakin mempererat hubungan kekeluargaan. 

Indra memiliki usaha sendiri, meneruskan usaha bapaknya di bidang furniture. Bahan bakunya, kayu jati, diambil dari kebun sendiri yang luasnya ribuan hektar. Masa depan yang cukup cerah menanti Azalea. Memang tak ada alasan menolak Indra, kecuali bahwa ia belum mengenal karakter Indra dan merasa terkejut dengan rencana pernikahan yang terkesan buru-buru.

“Usia Indra sudah 30 tahun, waktu yang tepat untuk menikah. Usiamu juga sudah 25 tahun. Kalau menunda-nunda menikah, nanti malah tidak laku,” ucapan Bude Laras terdengar menohok. Usia 25 tahun masih relatif muda bagi wanita yang tinggal di perkotaan. Mengapa pula harus buru-buru menikah? 

Satu jam kemudian, pesawat mendarat di Bandara Adi Soemarmo, Surakarta. Mereka dijemput oleh mobil pribadi yang telah menunggu dan siap membawa mereka ke rumah Mbah Kung. Jantung Azalea semakin berdetak kencang. Hari pernikahannya satu minggu lagi, dan ia baru akan bertemu dengan calon suaminya. 

Berita yang beredar, Indra-lah yang memilihnya sebagai calon istri. Ia sangat penasaran mengapa Indra memilihnya, sedangkan mereka baru bertemu satu kali, itupun saat masih kecil. Mungkin Indra memilihnya berdasarkan pertimbangan dari beberapa calon yang diajukan. Ini terasa tidak adil. Mengapa Azalea tak boleh memilih calon suaminya? Mengapa ia hanya harus menerima siapa pun yang dicalonkan oleh Mbah Kungnya? 

Bagian depan rumah Mbah Kung menjadi titik pemberhentian mobil yang menjemput mereka. Ibu masih tidur dengan posisi berbaring dan ditopang oleh bantal-bantal busa yang empuk. Napasnya teratur, seolah tak sedang menempuh perjalanan jauh. Baru tadi siang Azalea berada di Jakarta, menjelang sore ia sudah menjejakkan kaki di Solo. 

Pekarangan rumah Mbah Kung ditanami pohon-pohon Mangga yang jumlahnya tak hanya satu. Beberapa buah Mangga yang masih hijau terlihat menjuntai, dan menerbitkan air liur membayangkan buahnya yang matang telah terpotong-potong dan terhidang di depan mata. 

Bangunan besar berbentuk Joglo, rumah khas Jawa Tengah itu, seperti baru dicat ulang karena warna catnya berkilatan. Sepasang pintu besar membuka, ketika Azalea dan rombongan telah berada di muka. Ibu duduk di kursi roda yang telah dibawa dari Jakarta. Seorang budenya yang lain, menyambut kedatangan mereka dengan senyum semringah. 

Tidak sempat duduk di ruang tamu yang luas, Azalea dan rombongan langsung dibawa ke hadapan Mbah Kung yang sebagian waktunya dihabiskan di dalam kamar pribadi sembari merokok dan mendengarkan drama radio yang bercerita tentang dunia pewayangan. 

Mbah Kung. Sosok legendaris yang usianya melampaui usia anak-anaknya. Sosok yang sangat disegani oleh seluruh saudara dan kerabat. Sosok yang tak bisa dibantah perkataannya, meski zaman telah berubah dan setiap masa telah berganti generasi. 

Perut Azalea semakin mulas memikirkan rencana pernikahannya yang tinggal menghitung hari.

Bersambung . . .