Leyla Hana


#BAB 2

Perjodohan

Barangkali, aku memang salah menentukan pilihan. Mestinya aku tidak menjadi pekerja lepas. Kalau saja aku bekerja kantoran atau menjadi Dokter, mungkin Ibu tidak serta merta menyuruhku pulang ke Solo dan menikah dengan sepupu yang aku lupa wajahnya.

Azalea masih terus membatin, sembari tangan kanannya menyisir rambut dan cermin di hadapannya menampilkan raut wajah cemberut. Sebuah koper berdiri tegak di samping ranjang. Satu laptop, dua telepon genggam, pouch kosmetik, dan benda-benda kecil lainnya masih bertebaran di atas ranjang. Belum sempat dimasukkan ke dalam tas selempang yang juga akan dibawanya. 

Beberapa menit lagi menjelang keberangkatan ke Solo, hatinya masih ragu. Ia tak akan bisa menempati rumah peninggalan ayahnya yang terletak di bilangan Jakarta Selatan ini, karena sudah ada yang berminat membelinya. 

Ucapan Ibu, beberapa bulan lalu, sangat jelas dan tidak bisa dibantah. Oh, itu bukan berarti ia tak punya pendirian. Jika saja Ibu tidak sedang sekarat karena penyakit kanker hati yang dideritanya, tentu ia akan menolak sekuat tenaga perihal rencana perjodohannya dengan Indra. 

“Mbah Kung meminta kita pulang ke Solo, Lea. Ibu akan dirawat di sana. Kamu juga akan dijodohkan dengan Indra, sepupumu,” kata Ibu, beberapa bulan lalu. Tanpa ada yang dirahasiakan. Tanpa mempertimbangkan apakah Azalea akan menerima atau menolak.

“Dijodohkan?” Azalea berusaha menekan nada suaranya, agar tak menyakiti hati Ibu. 

Sesungguhnya ia tahu, keluarganya memperpanjang keturunan dengan perjodohan antar sepupu. Ibu dan ayahnya juga masih memiliki hubungan kerabat. Jadi, ia sudah tak asing dengan rencana perjodohan itu. Ia sudah berkali-kali menghadiri resepsi pernikahan kerabat mereka yang menikah dengan sesama sepupu. 

Alasannya, agar jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Sesekali memang ada yang melanggar tradisi turun temurun itu dengan menikahi “orang asing.” Akibatnya bisa ditebak, mereka dipandang sebelah mata oleh saudara dan kerabat. 

“Iya. Hari pernikahanmu sudah ditentukan. Bersamaan waktunya dengan Arumi, lho,” Ibu menjelaskan dengan nada riang, meskipun raut wajahnya terlihat pucat dan bibirnya kering karena kemoterapi. Tubuh Ibu sangat kurus, tinggal kulit yang membalut tulang. Azalea tak berani menolak permintaan Ibu. Hanya saja, nama Indra terdengar asing. Beberapa kali menghadiri acara saudara dan kerabat, ia tak pernah mengenali sosok bernama Indra. 

“Ya, tapi siapa Indra itu? Lea lupa.” 

“Kalian memang baru bertemu sekali, makanya kamu lupa. Indra jarang menghadiri acara keluarga. Anaknya memang cukup… pendiam. Lagipula, dia kuliah di luar negeri.”

Hff, pendiam dan pernah kuliah di luar negeri. Azalea mengembuskan napas. 

Pengalamannya berhubungan dengan orang pendiam, cukup rumit. Mereka pintar menyembunyikan perasaan dan isi hati. 

“Bagaimana dengan… wajahnya?” 

Bagaimanapun, Azalea harus tahu penampilan fisik calon suaminya, bukan? Yah, keluarganya memang memiliki garis wajah menarik, dengan kulit kuning langsat dan hidung mancung. Tapi, bukan berarti Indra juga menarik. 

“Ini salah satu fotonya yang dikirimkan oleh Mbah Kungmu,” Ibu menyerahkan selembar foto keluarga saat pernikahan salah satu kerabat, di mana keluarga Azalea tidak bisa hadir karena Ibu sudah terkena penyakit kanker hati yang cukup parah.

Azalea memperhatikan foto itu. Sosok Indra tidak begitu jelas, karena fotonya diambil dari jarak 300 meter. Seorang pemuda dengan tubuh tinggi berisi, rambut lurus belah samping, pandangan mata tajam, dan hidung mancung. Ia tak bisa menilai seseorang dari fotonya, karena foto sering menipu. Kita lihat saja nanti, Indra, batinnya.